“Thanks.” Gue menerima kantong yang disodorkan kasir.
“Udah, Ce?”
Gue mengangguk, kemudian berjalan
beriringan dengan adik semata wayang gue, Owen.
“Beli apa?”
“Kaos Disneyland yang gue pingin kemarin.”
“Dasar. Udah gue bilang beli
aja.”
“Kalo hari ini nggak bisa makan?” tanya gue.
“Ya enggaklah, lebay.” Dia
menjitak pelan kepala gue.
Kami menuju lounge, duduk bersama rombongan tur yang lain, menunggu pesawat
yang akan membawa kami pulang ke tanah air. Gue mengeluarkan ponsel, mencari
wifi. Ada perasaan sedih yang tiba-tiba menyusup ke dalam hati. Perasaan sedih yang selalu menyapa ketika
liburan akan segera berakhir.
Gue memutuskan untuk membuka gallery ponsel. Jempol gue menelusuri kembali foto-foto sembilan hari yang lalu. Screen kini menampilkan seorang gadis berbaju tradisional Cina, yang sedang memegang kipas dan mengenakan hiasan bunga di kepala, dengan Tembok Cina sebagai latar.
Ah, Beijing. Kota yang menyimpan
banyak bangunan bersejarah. Nggak cuma Tembok Cina yang luar biasa besar, ada
juga Forbidden City yang megah, Summer Palace yang indah, Temple of Heaven yang suci, serta stadion
olimpiade yang terkenal mewah, Bird Nest.
Udara yang panas dan gersang, serta sederet petunjuk jalan dengan bentuk
tulisan yang asing, juga culture shock
yang gue alami karena nada bicara penduduk aslinya yang selalu naik dua oktaf
(padahal nggak lagi marah), nggak sedikitpun mengurangi antusiasme untuk
mengeksplor lebih dalam lagi ibu kota Republik Rakyat Cina ini.
“Ce, kertas lo jatoh?”
Perhatian gue ke galeri teralih saat tangan gue dicolek Owen. Otomatis, mata gue mengikuti arah yang ditunjuk. Gue merunduk, mengambil sebuah kertas di dekat kaki gue, kemudian membuka
lipatannya untuk mengetahui apa isinya.
Itinerary.
Tepatnya itinerary hari ke empat,
saat gue terbang dari Beijing menuju ke Shanghai, kota yang disebut-sebut Manhattan of Asia. Julukan yang tepat setelah
gue melihat gedung-gedung pencakar langit bertebaran mewarnai pemandangan.
Sanking modern-nya Shanghai, kalo nggak
ada orang-orang yang bicara dalam bahasa Mandarin, pasti gue nggak ngeh ini di
Cina. Oh iya, gue juga sempet naik ke salah satu bangunan tertinggi di dunia, Oriental TV Tower, dan melihat kota jauuuh
dari atas sana. Malam harinya, gue menikmati pemandangan yang sama dari tengah
danau. Berpesiar mengelilingi bangunan-bangunan dengan lampu-lampu yang
menghiasi kegelapan malam. Shanghai was a
very beautiful city, indeed.
BRUG!
Lamunan gue buyar karena kaki gue tertimpa koper.
“Sorry, Oh my God, I’m so sorry.” ujar seorang bule di depan gue sambil terburu-buru mendirikan kembali koper gue yang jatuh karena tersenggol kakinya. Gue tersenyum maklum, kemudian bergerak membantunya membereskan kantong belanjaan gue yang isinya tercecer. Ia sekali lagi meminta maaf, lalu berlalu, meninggalkan gue dengan sebuah kantong berisi keranjang anyam yang gue beli pasar malam saat berada di Guilin.
“Sorry, Oh my God, I’m so sorry.” ujar seorang bule di depan gue sambil terburu-buru mendirikan kembali koper gue yang jatuh karena tersenggol kakinya. Gue tersenyum maklum, kemudian bergerak membantunya membereskan kantong belanjaan gue yang isinya tercecer. Ia sekali lagi meminta maaf, lalu berlalu, meninggalkan gue dengan sebuah kantong berisi keranjang anyam yang gue beli pasar malam saat berada di Guilin.
Guilin, kota kecil yang menyimpan
pesona bukit-bukit hijau yang tersusun bagai lukisan di sepanjang aliran
sungai. Gue sempat menikmati keindahan alam tersebut di atas kapal, yang sekaligus
menjadi salah satu pesiar terindah yang pernah gue alami.
“Ceh, mau ngopi?” Owen menyenggol
gue pelan.
Gue tersadar dan menggeleng
cepat, kemudian menjawab, “Nggak deh, gue masih puyeng nih gara-gara kemarenan
ngopi di Starbucks.”
“Lagian sok-sok pesen yang venti.”
“Lah abis kan kemaren mau
ngabisin Yuan. Kalo nggak beli yang venti mana abis?”
Gue dan Owen serentak nyengir,
kemudian membayangkan lagi perjalanan kami dari China menuju ke Hongkong. Seluruh
jeritan kebahagiaan dan histeria kegembiraan gue meluap saat kami sampai di Disneyland Hongkong, destinasi pertama di kota ini. Tempat ini membawa gue terbang bernostalgia
ke masa kecil, dengan tokoh-tokoh yang nyata. Gue bisa dengan jelas melihat
Eeyore dan Mickey Mouse menari-nari dan bergerak ke sana ke mari. Atau
Cinderella dan Aurora yang melambaikan tangan dari kereta mereka di parade. Gue
bisa dengan jelas menyentuh istana besar yang selama ini hanya gue liat di
film-film Princess. Mereka yang hidup
dalam buku-buku cerita atau film kartun, semua tervisualisasi di hadapan gue dalam
bentuk nyata. Bahagiaaa :”)
Selain Disneyland, di Hongkong, gue juga menyempatkan untuk berkunjung ke Madame Tussauds. Gue girang setengah
mati mendapati beberapa patung lilin selebriti favorit gue berpose manis di
sana. Salah satunya, tentu saja pasangan Angelina Jolie dan Brad Pitt. Langsung
aja gue berpose ditengahnya, kemudian bertekad mencetaknya sesampainya di
Jakarta, lalu memamerkannya sambil bilang, “Liat deh, gue baru foto keluarga
dooong!” dengan jumawa. Selain Jolie dan Pitt, ada juga Spiderman, Barack Obama, Lady Gaga, Michael Jackson, dan yang
paling membuat gue sumaringah sampe surga… Robert Pattinson alias Edward
Cullen. Seusai berfoto dan berusaha mencium pipinya namun nggak nyampe,
akhirnya gue mengirimkan ciuman selamat tinggal.
Kepada Madame Tussauds, juga sebentar
lagi… kepada liburan.
Maka di sinilah gue sekarang,
dengan boarding pass dan tiket yang
terjepit manis di dalam passport,
serta sebuah koper kecil dan kantong oleh-oleh yang akan masuk ke kabin. Beberapa
menit lagi, sebuah pesawat besar siap membawa gue kembali ke tanah air.
Beberapa menit lagi, gue akan meninggalkan empat kota berbeda yang memberikan
pengalaman tersendiri dalam sepuluh hari terakhir. Beberapa menit lagi, gue
akan bertolak dari negeri dongeng dan kembali menuju kenyataan. Beberapa menit
lagi, gue harus menyudahi liburan dan kembali ke dalam rutinitas keseharian.
Tanpa sadar, gue menghela nafas
dalam. Sedih tadi tiba-tiba berubah pekat. Gue menenggelamkan kepala dalam capucon jaket.
BUZZ!!!
Gue terlonjak, dikagetkan dengan
getaran dari ponsel yang gue pegang. Wifi sudah tersambung, dan ternyata sejak
tadi ada sapaan yang belum sempat gue jawab.
Papa : “Kamu udah di Bandara?”
“Ce?”
“Udah makan belum?”
“Kabarin kalo udah mau masuk pesawat
ya?”
“Delay nggak?”
“Ce?”
“Kok YM-nya nggak dibales?”
Selama di sini, komunikasi gue
dengan keluarga di Jakarta hanya bergantung pada keberadaan wifi. Praktis, acara ngobrol hanya berlangsung
di bandara atau di hotel, karena hanya dua tempat itu yang selalu menyediakan jaringan.
Namun, seringnya, padatnya acara dan jadwal tur membuat gue merasa sudah
terlalu lelah untuk bertukar kabar sesampainya di hotel. Pegal dan kantuk
akhirnya memaksa gue untuk mengurungkan niat mengutak atik jaringan wifi dan
langsung tidur untuk memulihkan stamina. Menyiapkan fisik untuk keesokan
harinya. Ponsel gue akhirnya juga hanya berfungsi sebagai kamera, bukan lagi
alat komunikasi untuk bertukar kabar atau cerita.
Kembali, gue menatap deretan
pesan itu, dan tersenyum saat segurat kehangatan pelan tapi pasti mengusir
kesedihan gue pergi. Saat ini, jauh di rumah, dua orang yang paling gue sayangi
sedang menunggu kepulangan anaknya. Sepuluh hari nggak ketemu, terpisah oleh
ruang dan jarak, ternyata mengukir kerinduan yang amat sangat, bukan hanya di
hati gue, tapi juga mereka.
Sarah : “Iya pa, aku udah di
bandara. Ini lagi nunggu masuk ke pesawat. Nanti papa yang jemput kan?”
Karena ada kebahagiaan lain yang
juga menunggu gue di Jakarta, yakni menyudahi rindu yang beberapa hari
belakangan sempat mendera hati. Karena perpisahan dengan liburan akan
digantikan rasa syukur di antara peluk dan cium dari mereka yang berarti. Karena
pengalaman baru yang gue nikmati di sini, bisa menjadi cerita seru untuk
dibicarakan nanti. Karena pulang bisa berarti, pertemuan kembali dengan
orang-orang yang gue sayangi.
Papa : “Iya dong, semoga nggak
delay ya, papa kangen.”
enak banget bisa liburan ke hongkong -__-
ReplyDeleteehh.. ada yang kurang nih, foto-foto waktu di Madame Tussauds-nya ga ada..
Nanti di postingan lain yaaa :D
DeleteTerima kasih sudah mampir :)
Kadang kita harus pergi biar tau ke mana harus pulang. Hahaha.
ReplyDeleteSetuju. :)
DeleteBaca ini bikin kangen pengen jalan-jalan ke China lagi.. Still so many things to explore in China.. :)
ReplyDeleteyep, China tuh gede banget ya, gak bisa dieksplor dalam sekali perjalanan :D
DeleteAaak Sarah bagus banget, Terharu bacanya. Keep writing ya :)
ReplyDeleteaaaah thank you ya :D
Deletewill do :>
*peluk*