Cerpen ini dibuat berpasangan dengan wacana tak bermakna tentang Mengapa Kami Berbeda (,) Tuhan? :)
-
“Pulang yuk, aku besok harus ke
Gereja kan…”
Ia hanya mengangguk, kemudian
mengacak rambutku. Kami berdua berjalan menuju mobil, masih berpegangan tangan
erat. Seperti menolak dipisahkan waktu yang entah mengapa terasa berputar
terlalu cepat. Ia membukakan pintu mobil dan mempersilakan aku masuk.
“Nanti sampe di depan komplek aja
ya?” ujarku hati-hati.
Ia mengerutkan kening. “Udah
malem lho, nggak mau di depan rumah aja? Aku nggak masuk kok.” Jawabnya.
Matanya menatap lurus ke jalan raya di hadapannya, namun terdengar getir
mewarnai suaranya.
“Aman kok, aku nggak akan
kenapa-kenapa kalo udah di dalem komplek. Supaya kamu nggak muter-muter juga,
kan?”
“Tapi kamu jalan sendirian kan…
Udah malem banget ini…”
“Tapi kan di dalem komplek…”
“Kenapa sih kalo aku anterin
sampe di depan rumah?”
“…”
Aku diam. Jawabannya sudah
menggantung di lidah, tapi aku terlalu takut mengungkapkannya.
“Aku nggak minta diperbolehkan
untuk mampir dan bertamu kok.” Ujarnya berat, kemudian menghela nafas. “Aku
cuma nggak mau kamu jalan sendirian malem-malem begini. Aku nggak mau kamu
kenapa-kenapa.”
“Tapi mama nggak tau aku jalan
sama kamu…” jawabku, hanya di dalam hati. Nelangsa.
Perdebatan yang sama, dingin dan
diam yang sama setelahnya. Suasana yang selalu terasa dihampir setiap
perjalanan pulang setelah kami menghabiskan waktu bersama. Hal-hal kecil yang
menimbulkan luka perih tersendiri, karena batasan-batasan yang tidak boleh kami
langgar. Ada rahasia yang tetap harus tersimpan rapi, karena perbedaan di
antara kami.
“Fi?”
Aku menoleh ke arahnya. Ia
melirikku dengan sudut mata, kemudian bertanya lagi, “Boleh ya?”
Aku hanya mengangguk singkat.
Tidak kuasa menolak. Hanya menyiapkan hati untuk bentakan yang menungguku di
rumah.
***
“Kamu masih jalan sama dia?”
“Cuma nganterin pulang aja kok
ma, pas nontonnya kan rame-rame juga…” Kebohongan pertama, aku menghitung dalam
hati.
“Kenapa dia yang nganterin kamu
pulang?”
“Kan cuma Gerry yang searah sama
Fifi ma…” Kebohongan kedua, rumahnya jauh dengan rumahku, ia malah harus berputar-putar
untuk mengantarku.
“Kamu nggak ada hubungan apa-apa
kan sama dia?”
Aku diam, kemudian menjawab
dengan nada lelah yang tersirat, “Nggak ma… Cuma temen…” Kebohongan ketiga, dan
yang paling menyakitkan. Bisa jadi yang terakhir, kalau mama puas dan langsung
percaya dengan jawabanku. Tapi malam ini sepertinya…
“Jauhi dia. Kamu ngerti?” Tandas
mama. Tajam. Bahkan untuk menyebut namanya saja beliau enggan. Kemarahan
berkilat dikedua bola matanya, menangkap dusta yang jelas terbungkus oleh
jawaban-jawabanku. Segores luka baru mewarnai hatiku. Pedih.
“Tapi ma…” Aku tidak tahan lagi.
“Jauhi dia. Sudah nggak ada lagikah
laki-laki lain, sampai kamu harus memilih dia? Sampai kapan mau bohongin mama?
Memangnya mau kamu bawa kemana hubungan kamu? Mama nggak mau lihat dia ada di deket
kamu lagi. Jauhi dia, Fi!” Final. Keputusan yang tidak lagi bisa ditawar.
Kemudian beliau melangkah keluar dari kamarku, menyiratkan ia tidak lagi mau
berdebat, apalagi dibantah.
***
Aku memeluk Owie, boneka kucing
pemberian Gerry. Sudah berada di dalam selimut, bersiap-siap memejamkan mata
dan tidur, namun otakku tak mau berhenti berpikir. Ada kesakitan yang terasa
sangat tajam di hati. Ada kegelisahan yang sulit untuk dijelaskan. Ada
ketakutan yang tiba-tiba menyergap. Ketakutan akan kehilangan. Ketakutan akan
kesendirian. Ketakutan akan pupusnya sebuah harapan. Ketakutan akan… kenyataan.
Kenyataan bahwa pada akhirnya, semuanya akan terjadi. Siap atau tidak, mau atau
enggan, waktunya akan datang, di mana aku harus mengembalikan semua yang
kupinjam sementara, demi hari-hari penuh senyum dan tawa.
Aku memejamkan mata, berusaha
sekuatnya untuk mengusir bayangan itu dari kepala. Tapi terlambat. Satu tetes
air mata mengalir turun membasahi bantal, yang kemudian disusul dengan yang
kedua. Dalam diam, tangisku pecah. Tidak sanggup lagi menanggung semuanya
sendirian. Bagaimana caranya aku bisa memilih dua hal berbeda yang tidak
mungkin aku tinggalkan salah satunya?
Hanya masalah kapan sampai waktu
merenggutnya dari pelukan. Hanya tinggal siapa yang lebih kuat untuk bertahan.
Hanya sampai ada yang akhirnya memilih sendirian. Hanya akan tersisa sebuah
harapan yang tak lagi bertuan. Entah untuk apa, entah untuk siapa.
Ponselku bergetar, muncul nama
Gerry di LCD.
“Halo?” ujarku refleks setelah ponsel
menempel di telingaku.
“Lho, kamu nangis?”
Gerry terlanjur menyadari suaraku
yang serak. Percuma berkilah, dia tidak akan percaya dan malah akan menuntut
alasannya.
“Dimarahin mama lagi?”
Tanpa sadar aku mengangguk pelan.
Kemudian menjawab, “iya…”
Terdengar helaan nafas di ujung
sana.
“Sampe kapan kita begini?”
tanyaku lemah.
Ia diam. Jauh di dalam hati, kami
berdua sama-sama mengakui ketidaktahuan. Seirama dengan ketidakberdayaan untuk
menemukan jawaban.
***
Aku memandangi hot chocolate-ku. Memilih menunduk
menyembunyikan risau yang tergambar jelas. Padahal seharusnya, mungkin yang
kulakukan adalah memandangi wajahnya puas-puas. Merekam suaranya dalam hati,
dan memutarnya kembali suatu saat nanti kalau rindu mulai mengaduk-aduk
sanubari. Menikmati genggaman tangannya yang hangat dan menenangkan. Bukan
malah menikmati sunyi seperti ini.
“Fi?”
Aku mengangkat mukaku. Diikuti
dua bulir air mata yang mengalir.
Detik berikutnya, aku sudah menangis
dipelukannya. Memuntahkan seluruh kekhawatiran, dan ketakutan yang sejak
semalam menghimpit tanpa mampu kutahan, saat aku mengumpulkan keberanian untuk
sebuah keputusan akan kehilangan.
“Apa yang bisa bikin kamu berenti
nangis terus begini, Fi?” tanyanya. Pedih menggores hatiku ketika mendengar
nada bicaranya. Ia tahu jawabannya, namun masih mempersiapkan diri untuk
mendengarnya dari bibirku.
Ia melonggarkan pelukannya,
sampai wajahku terlihat.
“Kamu mau aku pergi?” tanyanya.
Pelan, tapi terdengar. Hati-hati, seolah aku akan segera hilang ditelan
kesunyian.
Aku diam. Lagi-lagi membiarkan
sepi yang menguasai keadaan. Berharap akan memberiku sedikit kekuatan untuk
mematahkan harapan yang sudah satu tahun tersimpan. Berharap kejatuhanku tidak
akan terlalu fatal.
“Kamu nggak capek?” Aku balik
bertanya.
Ganti ia yang diam, dan diamnya
aku terjemahkan sebagai persetujuan. Sejenak, marah dan kecewa menguasai
diriku. Namun hanya sejenak. Detik berikutnya, aku menyadari, dia punya hak.
Sama seperti aku punya hak untuk mengambil keputusan. Membebaskan kami berdua
dari rasa lelah ini. Membebaskan kami berdua dari rasa takut yang selalu
membayang. Membebaskan kami dari rasa bersalah yang menekan.
“Kita harus pisah…” kataku
diiringi helaan nafas berat.
Ia masih diam. Hatiku memanjatkan
permohonan sebuah permintaan untuk tetap tinggal yang akan terucap. Hatiku
berbisik, bahwa harusnya bukan seperti ini akhirnya. Hatiku memperingatkan,
bahwa kali ini, tidak akan ada lagi tempat untuk berlari dari kesakitan.
Terpaksa berteman dengan sendiri dan sepi yang menghampiri tanpa kuasa aku
tahan.
Diamnya, menjadi jawaban final
yang akhirnya aku dapatkan. Kejatuhan besar. Kesakitan dalam.
Dari jauh, terdengar bunyi Adzan
Magrib berkumandang. Ia bangkit, melepaskan tangannya yang masih di pinggangku
sedari tadi, menarik serta sepotong hati yang sempat ia titipkan padaku setahun
lalu. Tidak ada salam perpisahan yang mampu terucap.
Kami berdua membisu, ia mengambil
air wudhu, dan aku melangkah pergi dari kamar kosnya setelah sebelumnya menutup
pintu. Ia berdoa pada Tuhan-Nya di dalam kamar, aku mengemis sebuah kekuatan
dari Tuhan-ku dalam perjalanan pulang. Untuk sebuah harapan yang baru saja
kandas. Untuk sebuah mimpi yang baru saja hancur. Untuk dua potong hati yang
baru saja patah. Untuk air mata yang masih belum mengering. Untuk kenyataan
pahit yang ternyata tidak selamanya mampu disembunyikan. Untuk rindu yang mulai
hari ini, akan selalu tertahan. Untuk sebuah cinta dengan alas perbedaan.
I like your post ;)
ReplyDeleteThank you :)
Deleteand thank you for reading :)
Jangan bosen2 main ke sini ya :*
Nama gerry terinspirasi nama juara standup season 2 ya ? :p
ReplyDeletehahahaha :D
Deleteengga kok, itu tiba-tiba nama yang kepikiran Gerry, hihi :D
Terima kasih sudah main-main ke sini yaa :)
alam sadar mengatakan demikian, namun tidak dengan alam bawah sadar.. #maksa.com 0:)
Deletehihi iya bisa jadi sih :P :P
Delete