Pernahkah elo mengalami keadaan di mana elo stuck sama seseorang? Cinta mati. Doi
kaya ada magnetnya, gimanapun elo berusaha keras untuk bilang, “I’m totally completely utterly done with
you!”, pada akhirnya hanya bertahan satu minggu. Atau satu bulan. Abis itu
balik lagi ke tempat semula. Nggak bisa ke mana-mana. Sejauh apapun lo lari, lo
akan tetap balik ke samping dia.
Sahabat baik gue, lagi ngalamin kejadian kaya gini. Gimana
jatuh bangunnya dia untuk minta ‘dilihat’ sama mantannya. Mantannya yang
sekarang udah punya pacar baru. Udah sibuk sama hubungannya yang baru.
Sebaliknya, sahabat gue masih bertahan di situ. Nunggu mantannya sadar. Nunggu
mantannya balik menghampiri dia. Gue, yang ngeliat gimana nelangsanya dia,
kadang-kadang jadi nangis juga. Tau semua ceritanya, pengorbanannya, bikin gue sadar, kalo terkadang,
nggak gampang mengenyahkan seseorang dari hati dan pikiran. Gimanapun kerasnya
elo berusaha. He-eh, gue setuju kok, move
on itu bicara niat dan kemauan, bukan kemampuan, tapi ada satu hal lagi
yang namanya harapan. Dan niat lo yang 99% itu, bisa berantakan karena 1%
harapan untuk perubahan dari orang yang elo sayang. Harapan untuk kembali ke pelukan.
Mantannya mantan gue (complicated
much?), juga ngalamin hal yang sama. Dan lucunya, dia memilih untuk cerita
ke gue. Dia belom bisa move on, dari mantan gue. Paitnya adalah, dia mau
melakukan apa saja, garis bawahi, apa
saja, untuk bisa balikan dengan sang mantan. Termasuk didalamnya, menonton
sang mantan ketawa-ketiwi sama pacar barunya, dan menerima sang mantan berkeluh
kesah waktu susah atau sedang ada masalah. Gila ya? J
Cinta. Hanya itu penyebabnya.
Gue dengan akal sehat yang masih utuh
saat ngedengerin dua
manusia berbeda ini cerita, jadi bertanya-tanya sama diri sendiri, kalo
sayang sama seseorang, apa harus mengorbankan diri sampai kejatuhan yang paling
dalam? Kalo cinta sama seseorang, haruskah merelakan apa saja, termasuk
kebahagiaan diri sendiri? Rasanya kok terlalu mahal.
Lalu? Apa cara mencintainya salah? Kalo hanya memikirkan
kebahagiaan diri sendiri, cintanya egois dong?
Sederhana.
Bukan cintanya yang bikin sakit. Tapi rasa-ingin-memilikinya.
KEDUA HAL INI, JELAS BERBEDA.
Menurut gue, konsep mencintai itu sederhana selama konsep itu
murni. Belum dicampuradukan sama eskpektasi atau keinginan untuk memiliki. Sakit
yang dirasa lebih kepada karena ketidakberdayaan untuk mengubah keadaan. Atau,
harapan yang terlalu melambung ke awan.
Back to basic, konsep cinta di awal, itu hanya
mencintai. TITIK. His / her happiness is
yours. His / her sorrow is also yours. Being there when everyone else walk
away. Mencintai. Tanpa ada keinginan untuk memiliki. Hanya memastikan dia
baik-baik saja dan bahagia, sudah cukup. Lebih dari cukup. Tanpa punya kemauan
besar untuk menjadi alasan dibalik terciptanya senyum di bibirnya. Lo ikut
seneng waktu dia seneng, lo ikut sedih waktu dia sedih.
Nah, saat subjek perasaan lo ini seneng sama pacar barunya
dan elo jadi sedih atau marah, something’s
wrong with your love.
Lain lagi ceritanya kalo lo pingin doi jadi pacar lo. Doi
jadi perhatian. Doi jadi romantis. Doi sayang sama lo. Doi ngebales cinta lo. It doesn’t mean you love him/her. It means
you love yourself. Koreksi kalo gue salah ya, tapi semua itu fokusnya sama diri lo sendiri.
Instead, if
you really love him/her, lo pasti pingin doi sukses, lo pingin doi bahagia,
lo seneng liat doi ketawa, lo selalu ada buat doi kapanpun dia butuh teman
bicara. Berdoa buat dia, karena sepenuhnya ngerti Tuhan maha penjaga, dan lo
hanya ingin dia baik-baik saja. J
Sederhana.
Love isn’t (that) complicated
(by the way), people are. J
*catatan ini pernah gue post di Tumblr J
No comments:
Post a Comment