Aku memandang layar smartphone, kemudian menaruhnya kembali
ke tempatnya dengan lesu. Tidak ada lampu kedap-kedip merah, artinya tidak ada
pesan yang masuk. Tidak ada pesan darinya.
Aku memeluk gulingku erat-erat. Aku kangen dengannya, seandainya saja aku tahu
dia di mana.
Aku menghela nafas berat. Sekali
lagi mengecek smartphone-ku, yang
kali ini menunjukkan tanda-tanda adanya sebuah pesan masuk. Terburu-buru aku
membuka pesan tersebut.
“Hai!”
Hanya sebaris pesan, yang mampu
membuat senyum manis terkembang di wajahku. Aku diam memandangi sebaris kalimat
yang aku tunggu sejak siang tadi.
Akhirnya, “Hai juga! Belum tidur?”,
kuketik sebagai balasan.
Sambil menunggu balasannya, aku
kembali membaca pesan singkat yang ia kirimkan. Sebuah sapaan universal yang
digunakan di seluruh belahan dunia, namun menjadi berbeda ketika keluar dari ia
yang ditunggu sepanjang siang hingga malam menjelang.
Kerlip merah menyadarkanku.
Pesanku sudah berbalas. Ingin rasanya menjerit bahagia kalau tidak ingat ini
jam berapa.
“Belum, kamu?”
Pertanyaan retoris. Cenderung
bodoh dan
tidak perlu di jawab, namun kontan membuatku tersenyum lagi. Kali ini
lebih bahagia. Entahlah, jatuh cinta itu, rasanya seperti ini ya? Bahkan
hal-hal kecil dan remeh pun disyukuri. Detail yang tak terlihatpun jadi bisa
dibesar-besarkan sehingga akhirnya melahirkan kebahagiaan tanpa dasar, yang
menenggelamkan kita kepada lautan ekspektasi tanpa sadar.
“Belum, masih menunggu kamu pulang.” Aku mengirim pesan balasan sambil berdoa dalam hati, semoga malam ini
kami bisa mengobrol. Tak sanggup rasanya kalau harus menunggu esok hari.
Ada jeda kurang lebih dua puluh
menit sampai balasannya kuterima.
“Kenapa menunggu aku pulang? J”
Lagi-lagi aku tersenyum sendiri.
Untung hanya ada aku di kamar ini. Kalau tidak, pasti sudah sejak tadi aku
diseret ke rumah sakit jiwa.
“Boleh mengobrol?”
Dengan lincah aku mengetik pertanyaan tersebut, kemudian mengirimkan kepada dia
yang bertanya di ujung sana. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat saat
melihat kerlip merah yang menandakan balasan pesanku datang.
“Tentu saja, tapi harus mulai dari mana?”
Aku diam sejenak. Kemudian
mengetik balasannya, “Nama, mungkin?” Karena selama ini, yang terbayang di
kepalaku adalah sesosok kucing hitam berdasi yang sinis tapi pintar, seperti yang
tergambar pada display picture-mu.
*fiksi
*gambar diambil dari sini, terima kasih.
eh, siapa yang bisa tebak inspirasinya?
:P
:P
si PERVIE?
ReplyDeletePERVERT AUDITOR?
bukannya ceceh udah punya pacar ya ceh?
>___< emang si pervie itu si roy?
MUAHAHAHA SERATUS BUAT SHANDO :*
Deleteitu fiksi oooy itu fiksiiii :))
bukan roy bukan pervie, aku kagak tau pervie itu sapah :))
pacar akoh si sendal jepit hitam, bukan kucing hitam :3
Sendal jepit hitam? bukan sekarang sendal jepitnya udah abu-abu ya. Kan kemaren putus waktu sama bang Tirta waktu jalan-jalan beduaan.
Deletehihi iyaaah, sekarang sudah jadi sandal jepit abu-abu :) terima kasih sudah mampir! :D
DeleteHAHAHAHAH bahikslah :*
ReplyDeleteNice Cerpen.. :))
ReplyDeleteThank you yaa :)
DeleteTerima kasih sudah main-main :*