Pages

Thursday 10 February 2022

IVF Journey - The Question

 "Alasannya apa ya, hun?"

Di ruang tunggu dokter, satu-satunya yang berkecamuk di kepala gue adalah jawaban yang tepat untuk pertanyaan, "Kenapa baru sekarang?" yang sebentar lagi akan ditujukan kepada kami. Let's face it, we've been married for 5 years. Any fertility doctor would tell us we're late, therefore asking that question.

Jadi, kenapa?

Honestly we have several reasons I can think of.

Salah satunya, selama ini, kami sudah merasa lengkap, dengan atau tanpa anak. Sungguh, nikah sama Roy adalah salah satu keputusan terbaik dalam hidup gue. Maybe I wouldn't describe my marriage as a lovey-dovey romantic relationship, but it certainly working. We have this amazing chemistryeffortlessly get each other, and run towards the same goal. Seperti pernikahan di dunia nyata, tentu nggak melulu rainbows and butterflies, but it's safe to say that we are happy.

Pertimbangan lainnya, mungkin dana. Fertilitas dan pengobatannya identik dengan expensive price tag. Dari konsultasi, obat-obatan, sampai tindakan, semua punya satu kesamaan. Harga fantastis dan pelunasan dalam rentang waktu yang relatif singkat. So the money is definitely an issue. You can't come up with it overnight, mengingat jumlahnya harus siap sebelum programnya dimulai.

Belum lagi soal kesiapan mental. Trauma sama USG Transvaginal 4 tahun lalu rasanya masih berbekas. Memutuskan kembali berkunjung ke obgyn bukan keputusan yang mudah, at least buat gue. It feels like facing your fear, head on. Bukan hanya prosedurnya, tapi juga kemungkinan vonis buruk yang harus kami terima. It scares the hell outta me.

So I have plenty reasons, tapi rasanya belum ada yang tepat untuk menjawab pertanyaan di atas.

Kami hepi, yaoke, trus ngapain kita di sini?

Dana? Duile tengsin dong kalo jujur-jujuran soal ini.

Sedangkan urusan mental, ya subjektif, kan.

So what should I say so I can dodge the judgment?

"Bilang aja baru siap sekarang.", kata Roy.

Emang yakin udah siap? Bahkan detik ini, saat duduk menunggu giliran konsultasi, sejujurnya gue masih gamang soal program. Is this the right time? Do we have what it takesAre we ready? Am I really ready?

"Ibu Sarah." Gue refleks mengangkat tangan. That's us. It's our turn.

Kami masuk ke ruang praktek, disambut Dokter Aryando Pradana, SpOG dengan sapa yang antusias dan sepotong senyum (I assume, soalnya dibalik masker). Kesan pertama? He's friendly. Ngobrol sebentar, I also can feel that he's sincere. Entah gimana menjelaskannya, tapi empatinya terasa sekali. Langsung paham kenapa pasiennya pada devoted.

Setelah basa-basi perkenalan, kami menjawab beberapa pertanyaan rutin seperti umur masing-masing, umur pernikahan, gaya hidup, juga riwayat kesehatan dan pemeriksaan sebelumnya. Sementara itu, otak gue hanya fokus pada satu pertanyaan yang belum muncul. Sungguh ruwet karena hingga saat ini, gue masih belum yakin apa jawabannya.

"Kita periksa dulu ya, bu."

That's my cue. USG dulu. Mungkin setelah itu sesi tanya jawabnya baru lanjut lagi.

Proses USG-nya sendiri berjalan dengan efektif. Not exactly painless, tapi surprisingly nggak sesakit dulu. Gambaran tentang kondisi rahim dan telur langsung kelihatan. Beberapa kesimpulannya cukup mengagetkan, tapi maklum, mengingat gue skip jadwal papsmear 4 tahun. But more on that later.

Selesai USG, kami kembali duduk. Here we go, pikir gue.

"Jadi rencana mau program langsung kah, bapak, ibu? Sudah ada plan?"

Gue dan Roy saling tengok. Sebenernya kami belum sepenuhnya yakin sih, tapi... "Rencananya kami mau IVF, dok."

"Oke, bisa. Tapi saran saya, jangan di cycle ini ya. Minum vitamin dulu untuk persiapan programnya, karena ibu butuh banyak Folat. Nanti setelah konsumsi vitamin, bulan depan dateng lagi, kita baru mulai. Ini resepnya ya."

"Oke dok."

"Ada lagi yang mau ditanyakan, bapak, ibu?"

Gue bengong. Loh justru aku yang musti nanya gitu, dok. Dokter beneran nggak ada pertanyaaan lagi? Tentu cuma dalam hati. We shake our head instead.

"Oke, kalo gitu kita ketemu lagi bulan depan ya. Sehat selalu, bapak, ibu." Ia berdiri, menangkupkan tangan di depan dada, sembari mempersilahkan kami keluar dari ruang praktek.

That's it? The sacred question remain unasked? No judgement look?

Masih mencerna, gue dan Roy turun ke lantai 1, menuju kasir dan apotik. Sambil jalan, Roy bilang, "Untung juga nggak langsung disuruh mulai ya, ai. Jadi kita bisa pikir-pikir lagi, di rumah. Itung-itung ini cek ombak dulu aja. Kalo kamu belum mau atau belum siap, nggak apa-apa."

Well yeah, he has a point. But. "You know whatI'm ready. Let's do it."

"Really? Kok tiba-tiba yakin?" Kening Roy berkerut.

"Because I think we already found the right captain for this journey."

No comments:

Post a Comment