“Tapi bukan gitu pa…”
“Pokoknya itu mah udah harus kamu yang inisiatif.
Dalam sebuah kondisi yang kacau, jangan terburu-buru nyalahin orang. Lihat
dulu, apakah kamu juga ambil kontribusi dalam melakukan kesalahan? Dalam
artian, harusnya itu bisa kamu cegah kan?”
*manyun*
----------------------------------------------------------------------------------------------------
“Tapi kan aku nggak ngerti…”
“Kalo nggak ngerti ya belajar,
banyak tanya. Masa kalo nggak ngerti mau pasrah aja?”
“Aku nanya kok, dan ini lagi
dalam proses belajar kan…”
“Kejar
ilmunya, dipake instingnya, belajar setiap hari, dari siapa aja.”
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Adu mulut kaya begitu bukan
terjadi sekali dua kali ketika gue sudah mulai memasuki dunia kerja. Bekerja di
bidang yang sama dengan bokap, membuat beliau sedikit banyak mengerti garis
besar pekerjaan gue. Beliau akuntan hebat, nggak bisa dibandingin sama gue yang
masih hijau dan baru saja memulai karir. Bukan di perusahaan besar, tapi di
sebuah perusahaan kecil yang personil accounting-nya
minim, sehingga memaksa gue untuk mengerti (hampir) segalanya.
Capek, itu yang paling terasa.
Badan dan pikiran. Kondisi lingkungan kerja yang kurang kondusif pun nggak
jarang bikin gue sangat frustasi saat berada di kantor. Beberapa kali kejadian,
pulang kantor gue nangis sendirian karena gue tau, besok, seluruh kelelahan ini
akan berulang. Lima hari dalam seminggu. Cara paling efektif untuk membuat gue
mati muda, mungkin.
Tempat curhat gue? Tentu saja,
bokap. Secara setiap pulang ngantor kita selalu bareng, dialah yang jadi sasaran gue menumpahkan keluh kesah. Dan lo tau kan? Waktu lo lagi jengkel, gondok, capek, kesel, pasti maunya disupport. Disayang-sayang. Dielus-elus. Dibaik-baikin.
bokap. Secara setiap pulang ngantor kita selalu bareng, dialah yang jadi sasaran gue menumpahkan keluh kesah. Dan lo tau kan? Waktu lo lagi jengkel, gondok, capek, kesel, pasti maunya disupport. Disayang-sayang. Dielus-elus. Dibaik-baikin.
Tapi bukan itu yang gue dapetin
dari beliau. Gue dapet: nasehat. Malah terkadang, bukan dengan kata-kata yang
manis menyejukan, tapi pedes tak terkira. Beliau terkesan selalu menyalahkan
gue, bahkan ketika bukan gue yang seharusanya bertanggungjawab atas kekacauan
atau kesalahan yang ada. Still, he blames
me. Kalo sampe ada kekacauan atau kesalahan dan gue nggak punya kemampuan
untuk mencegah itu terjadi, that’s my
fault, atau setidaknya, gue ambil andil sebagai orang yang juga bersalah.
Lah kalo kesalahannya memang di accounting sih gue masih bisa nerima.
Ini semua divisi yang berkaitan dengan accounting.
Jadi kalo ada masalah di keuangan sehingga akhirnya laporannya jadi kurang akurat,
ya salah gue juga. Padahal kan bukan gue yang bikin sistemnya. Gondok kan? :s
Gue jadi kesel, curhat niatannya
ngeluarin uneg-uneg biar gue ngerasa enakkan, tapi ujung-ujungnya malah gue
yang disalah-salahin.
Be-te.
Sampai malam ini, gue lagi duduk
sendiri di depan meja belajar gue, merenung kata-kata yang barusan beliau
ucapkan waktu makan malam.
“Manusia itu nggak boleh berhenti belajar. Kamu mau sukses? Belajar.
Ilmu berkembang. Kamu harus berkembang. Supaya nggak ketinggalan.”
Dan gue menyadari satu hal. Beliau benar.
Hanya ada sebuah alasan kenapa beliau
keras dalam mendidik gue. Karena dia tau gue seperti apa, dan he wants to push me through my limit.
Dia tau, kalo nggak didorong, gue susah bergerak dari comfort zone gue, yang mana itu sangat amat berbahaya, terutama di
umur produktif. Gue nggak akan berkembang. Selamanya gue akan kerdil secara
mental dan pengetahuan. Dia mau gue tau kalo hidup itu keras, dan dia ngerti kalo gue harus dikerasin. Nggak apa-apa
nangis, asal nggak terus-terusan keras kepala kalo gue bener.
He knows me. Even better than myself. :”)
Dia mau gue siap untuk berjalan
sendiri di depan, tanpa dia di sisi gue suatu saat nanti. Dia mau gue mandiri.
Makanya dia mempersiapkan gue dari jauh-jauh hari. Menggojlok gue supaya gue
tahan banting. Nggak gampang nyerah. Nggak gampang balik badan begitu nemuin
kekacauan. Nggak cengeng.
Lebih dari itu, dia jadi teladan.
Sosok yang umurnya hampir setengah abad, tapi nggak pernah berhenti belajar.
Akuntan paling hebat. Memulai karir sebagai junior, dan sekarang sudah deputi.
Seperempat abad mengabdi pada sebuah perusahaan swasta, tanpa banyak mengeluh
kaya gue.
Padahal gue percaya, pasti beliau
pernah mengalami masa-masa dikejar sama deadline,
dihadapkan dengan pilihan antara karir dan hati nurani, laporan keuangan yang pengklasifikasian akunnya kacau balau, dicaci-maki atasan, itungan
pajak yang memusingkan, teman se-tim yang nggak suportif, dan lain-lain.
Tapi dia berdiri tegak, hanya karena dia selalu ingat bahwa dia punya mama,
gue, dan adik gue. Karena dia tau, kami semua bergantung sama dia. Dan dia
harus bisa, sesulit apapun kondisinya. Ditekannya kuat-kuat segala penat yang
menyerang kepala seharian, hanya untuk memeluk gue sepulangnya ia dari kantor,
dulu.
Sekarang, gue mulai merasakan
lelah dan jerih payahnya buat gue, sepanjang gue hidup. Dua puluh satu tahun
gue sekolah, makan, beli susu dan mainan, dari gaji seorang akuntan, yang
mungkin nggak besar, tapi didapatkan dari puluhan keringat yang tercucur,
bahkan terkadang, air mata.
Gue janji sama diri gue sendiri,
gue akan berlari jauh melampaui beliau. Gue akan jadi akuntan yang lebih hebat
dari beliau. Gue nggak akan berhenti belajar. Gue mau keluar dari comfort zone. Gue janji akan buat beliau
bangga. Gue janji.
I’m proud of you dad. Thank you for never giving up on me. You’re the
best, and I do love you.
![]() |
thank you! :) |
No comments:
Post a Comment