Pages

Friday, 10 May 2013

Berbagi Tawa dan Cerita

DISCLAIMER:
Postingan ini merupakan lanjutan dari #ceritakami yang bisa dibaca di sini :)

---

Roppan - Gandaria City, 19 Januari 2013, 14.45

Aku menyendok es krim Vanilla, tanpa mengalihkan pandangan dari dia yang ada di hadapanku. Menikmati setiap pembicaraan yang terurai, cerita-ceritaku yang mengalir alami karena menemukan tempat yang nyaman untuk berbagi.

“Ya gitu, akhirnya gue mutusin buat pergi. Nggak bisa... nggak mau. Karena gue tau banget sakitnya kaya apa sharing masa depan sama masa lalu.” ujarku.

“Dia masih ada hubungan sama mantannya emang?”

“Masih, masih jalan berdua, masih bbm-an setiap hari kali. Yang gue denger malah mantannya masih suka main ke kosannya. Kalo kaya gitu cara dia temenan...” aku membiarkan kalimatku menggantung.

Ia manggut-manggut mengerti.

“Konsep move on yang kaya gitu aneh lho, menurut gue. Lo nggak akan bisa move on, kalo lo terus menerus ada di sekitar mantan lo, kan? Bertemen lagi boleh, tapi kayaknya nggak bisa langsung deh... Perlu waktu untuk netralin hati. Move on itu kan kata kerja, makanya butuh niat dan kemauan yang juga luar biasa. Susah, kelihatan mustahil, tapi asal mau dan niat, bisa.” jelasku panjang lebar.

Ia mengangguk, kemudian tersenyum singkat. “Dengerin lo ngomong tuh rasanya kaya ngeluarin seluruh pikiran gue deh. Kaya sebelum tidur, gue ngomong ngalor ngidul, gue rekam, trus gue puter lagi sekarang. Kenapa ya bisa sepaham banget?”

Aku tertawa, kemudian mengangkat bahu, benar-benar tidak tahu jawabannya. “Nggak tau, mungkin gara-gara itu, dari sebelum ketemu aja, kita udah nyambung banget ya?”

 Ia manggut-manggut setuju. “Eh, abis ini mau ke mana?”

“Engg… Ke mana ya?” Aku memutar otak.

“Lo ada yang mau dibeli di sini?”

Aku menggeleng. Ah, harus berakhirkah kebersamaan ini?

“Pulang?” tanyanya.

Aku menggeleng sedih. “Papa mama kan lagi ke Bogor, gue nggak mau sendirian di rumah…” jawabku jujur. Sebagian lagi berharap, waktu bersamanya tidak akan segera berakhir.

“Gue tau tempat yang asik di daerah Cikini, mau ke sana?”

Mataku membulat, kemudian spontan menjawab, “MAUUUUU!”

***

Bakoel Koffie, 19 januari 2013, 17.00

Ia menyeruput hot chocolate-nya, sedangkan aku sibuk mengaduk-aduk tehku.

“Ini tempat gue biasa nulis. Enakkan? Nyaman, nggak terlalu rame, suasananya juga ‘rumah’ banget.”

Aku mengangguk setuju. Tidak mampu mengelak bahwa aku juga jatuh cinta pada kedai kopi ini sejak pertama kali menginjakkan kaki. Kami berdua duduk di dekat jendela, menikmati secangkir minuman hangat, sekedar menenangkan kulit yang sejak tadi terhantam angin dingin karena hujan di luar sana. Aku memperhatikan orang yang lalu lalang. Cikini. Ah, rasanya menyenangkan sekali berada di salah satu café yang berjajar di trotoar yang dipenuhi dengan kios tua yang sebagian telah direnovasi demikian rupa, tanpa menghilangkan daya tariknya.

Mendengar tawanya di sela-sela pembicaraan. Secangkir teh hangat di hadapan. Sepasang mata yang teduh menatap. Percakapan yang tak putus karena ingin mengenal. Pribadi yang menyenangkan. Kedewasaan yang menenangkan. Salah satu momen yang terlalu sempurna untuk menjadi nyata.

“Mau jalan-jalan ke TIM?” ia membuyarkan lamunanku.

“Yuk, jauh dari sini?”

“Nggak terlalu, bisa jalan kaki kok. Lo capek?”

Satu detik, aku tertegun karena perhatiannya. Sesaat setelahnya, aku tersenyum sambil menjawab, “Enggak kok, yuk.”

***


Taman Ismail Marzuki, 19 Januari 2013, 18.30

“Ini tempat yang biasanya gue datengin kalo mau nyari buku-buku bekas. Banyak banget, nyari yang dari jaman batu juga ada kali, lengkap di sini.”

Aku mengangguk, berusaha mengenali salah satu dari tumpukan buku yang berjejer rapih di rak di hadapanku. Kemudian menyerah. Tidak ada satupun yang aku ketahui. Mungkin kebanyakan buku yang ada berasal dari jaman sebelum aku lahir ke dunia.

Dari jauh, terdengar suara musik keras berkumandang.

“Itu apa?” tanyaku.

“Biasanya sih pertunjukan jalanan. Mau lihat?”

Aku mengangguk, dan kami menuju pelataran XXI TIM, dan menyaksikan puluhan anak-anak berumur kurang lebih 6 sampai 7 tahun yang bergantian dengan lincah menari mengikuti irama musik.

“Ada tiap hari yang kaya gini?”

Dia menggeleng, “Kadang-kadang aja.”

“Ya ampun, masih kecil udah hebat-hebat banget narinya ihhhh!” desahku kagum.

“Lo udah pernah ke Theater Jakarta?”

Aku menggeleng lagi. “Di mana tuh?”

Dia tertawa geli sebelum akhirnya menjawab, “Di sini!”

“Oh ya? Mana?”

Kami berdua berjalan menuju sebuah bangunan yang menjulang megah. Dalam keremangan, keindahannya terlihat. Sayang, tidak ada satupun lampu yang menerangi. Mungkin karena sedang tidak ada pertunjukkan.

“Ya ampun, gue baru tau Jakarta punya gedung teater juga! Kirain Singapore doang!” Kekaguman tak berhenti mengalir dari bibirku.

“Hahahaha punyalah, keren lagi.”

“Sedih amat sih, gue tinggal di Jakarta 21 tahun, belum pernah ada yang ngajak gue ke Teater Jakarta, sampe baru tau sekarang.”

“Belum ketemu yang tepat aja, kali…”

“Hmm... So, you’re saying that you’re the right one?” pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibirku. Tanpa sempat lagi kutahan, dan sudah terlanjur terucap.

Well… We’ll see…

“…”

***

Thanks ya…”

“Iya, sama-sama. Jangan kapok ya.”

Aku tersenyum manis. “Enggak kok.”

Aku menutup pintu rumah, kemudian melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Sepuluh jam yang menyenangkan. Kenyamanan yang sukar untuk dijabarkan. Serta... hati yang sepertinya sudah mulai menyerah untuk menyangkal perasaan dan terus bertahan sendirian. Walaupun mungkin, ia hanya fatamorgana, yang akan menghilang saat aku mengulurkan tangan.

Aku luruh di belakang pintu yang sudah tertutup. Mengecek inbox smart phone-ku, dan belum juga ada pesan yang masuk. Terngiang kembali kata-kata Ika, salah seorang sahabatku, “Kalo sepulang first date dia sms atau nelfon elo, itu artinya dia tertarik sama lo. Kalo enggak, yaudah, mendingan jangan terlalu berharap.”

Tidak ada pedar merah yang menandakan adanya panggilan atau pesan yang masuk.

“Dooh, lo kenapa sih?” Aku berbisik pada diriku sendiri sambil menenggelamkan kepalaku diantara kedua lutut.

***

"Apa lawan apa, Di?" tanyaku saat memasuki ruang tamu, segera setelah duduk di samping adikku yang sedang menonton pertandingan sepak bola.

"Ini, Liverpool vs Chelsea." jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.

Tunggu, Liverpool?

Aku segera mengambil ponselku dan mengetik sebuah pesan:

"Why didn't you tell me kalo ada pertandingan Liverpool? Kan bisa balik pagian? :("

Beberapa menit kemudian, kedip merahnya menyadarkanku.

"I won't trade our 10 hours with anything, not even Liverpool games."

*** 

No comments:

Post a Comment