Postingan ini merupakan lanjutan dari #ceritakami:
(1) Sabtu Pertama Bertatap Muka
(2) Berbagi Tawa dan Cerita
(3) Taruhan untuk Sebuah Senyum
(4) Sebuah Senyum untuk Bulan di Kegelapan
(5) Dua Senyum untuk Sebuah Jawaban
Pelataran Jakarta Theatre, 02 Februari 2013, 18.45
Tangannya masih menggenggam erat tanganku.
Kami berdua turun dari mobil dan menuju ke Teater Jakarta, tempat pertunjukan
Drama Musikal Sangkuriang akan berlangsung. Ia menukar lembar pembayaran dengan
tiket, sementara aku terpaku mengagumi keindahan bangunan di hadapanku. Masih segar
dalam ingatanku, percakapan kami dua minggu lalu di sini. Sebuah pertanyaan
yang terucap tanpa maksud dan terlontar tak sengaja.
“…so, are you saying you’re the right one?, gue nggak bisa jawab itu sekarang…
Tapi… biarin gue buktiin itu day by day ya?”
Sederhana. Tanpa janji-janji manis.
Tanpa sodoran mimpi. Hanya ada niat untuk berusaha, sekuat yang ia bisa. Hanya ada
permintaan untuk percaya, sekalipun ia belum mulai membuktikan apa-apa. Aku tersenyum.
Lagi. Untuk kesekian ratus kalinya, mengucap syukur di dalam hati.
“Yuk, makan dulu?”
Aku mengangguk. “Yuk.”
Ia menggenggam tanganku, kemudian
menggoyang-goyangkannya di udara.
Tangan ini, kini telah menemukan tempat
di mana ia akan berlari waktu kedinginan. Kaki ini, akhirnya bersama ia yang
mau berjalan seirama. Hati ini, akhirnya telah menemukan sebuah rumah.
***
XXI Café, 02 Februari 2013, 19.00
“Kenapa hayo, senyum-senyum?”
Aku mendongak, dan melihat ia membawa
sebotol minuman duduk di sampingku.
“Jadinya pesen apa?” tanyaku.
“Pizza. Gue dari kemaren kepingin
makan pizza belom kesampean-kesampean abisnya.” jawabnya.
Aku tersenyum lagi.
“Ih, jangan senyum mulu ah.”
“Ih, emang kenapa?” tanyaku.
Ia hanya mengacak rambutku sebagai
jawabannya, kemudian melukis sebuah senyum juga di bibirnya, dan...
twitter update-nya.
twitter update-nya.
***
Jakarta Theatre, 02 Februari 2013, 21.00
“Dingin? Gue ambilin jaket di
mobilya?”
Aku menggeleng pelan, masih terpaku
pada keindahan performa dari teman-teman Universitas Parahyangan yang sedang menari
dan menyanyi mengikuti musik. Tangannya masih menggenggam erat jemariku.
“Keren banget Ardi…” desahku kagum.
“Iya, apalagi Dayang Sumbi-nya tuh…”
“Mereka nyanyi terus-terusan
kayak gitu, nggak capek apa ya?” tanyaku.
“Nih, makanya Dayang Sumbinya ada
dua orang kan…” Ia menunjukan buku yang kami dapat saat masuk tadi.
Aku mengangguk.
“Seneng?” tanyanya.
What a rhetorical question.
Aku mengangguk, kemudian menyandarkan
kepalaku di bahunya.
***
Pelataran Jakarta Theatre, 02 Februari 2013, 21.35
“Capek?”
Aku menggeleng cepat. Ia dengan sigap
mengambil posisi di antara aku dan arah mobil yang datang, kemudian membimbingku
menyeberang menuju ke tempat parkir.
“Di, itu apa?” telunjukku mengarah
pada segerombolan anak-anak yang sedang menari bersama-sama, mengikuti irama musik.
“Street dance lagi kayaknya, mau liat?”
Aku berjinjit. Heels yang kupakai tidak cukup tinggi. Pandanganku
terhalang puluhan orang yang berdiri di hadapanku.
“Sini, naik sini!” ujar Ardi cepat.
Tangannya menggenggam erat tanganku,
kemudian membantuku menaiki pembatas jalan yang cukup tinggi. Hati-hati, aku menaiki
undakan itu, dan menyeimbangkan tubuhku di atasnya.
Ardi berdiri tepat di depanku dan
menepuk pundaknya. “Sini, pegangan.”
No comments:
Post a Comment