Postingan ini merupakan lanjutan dari #ceritakami:
(1) Sabtu Pertama Bertatap Muka
(2) Berbagi Tawa dan Cerita
(3) Taruhan untuk Sebuah Senyum
(4) Sebuah Senyum untuk Bulan di Kegelapan
(5) Dua Senyum untuk Sebuah Jawaban
(6) Rumah
-
“ARDI!”
“Hai mbak! Apa kabar? Eh, kenalin,
ini Velia.” ujarnya.
Aku tersenyum sembari mengulurkan
tangan, yang disambut hangat oleh wanita cantik di hadapanku.
“Velia.”
“Risa. Aduh, kalian berdua lucu banget
sih, ayo silahkan duduk! Aku balik ke dalem dulu ya…”
Wanita ramah yang bernama mbak Risa
itu kemudian kembali duduk di bangkunya, sedangkan aku dan Ardi mengambil tempat
di tengah-tengah café.
“Kopi? Di sini kopinya enak,
lho.” tawar Ardi.
Aku hanya menggeleng, kemudian tersenyum.
“Gue nggak minum kopi, Di.”
“Oh iya, mau pesen apa dong?”
“Hot Chocolate ada?”
“Ada ada, yaudah mbak, Hot Chocolate-nya satu, saya mau kopi
yang biasa ya.”
Pelayan itu tersenyum manis sambil
mencatat pesanan kami, kemudian mengambil menu dari tanganku dan Ardi, dan pamit
undur diri.
“Kenapa ngeliatin gue kaya gitu sih?”
tanyaku saat mendapati Ardi sedang memandang lekat wajahku.
“Nggak boleh, emangnya?”
“Hahaha ya boleh sih… Tapi kenapa?”
“Nggak harus ada alasannya kan?”
Terngiang kembali kata-kata Ardi
di Sabang 16 tadi, sewaktu pertanyaan “kenapa?” terlontar dari bibirku.
“Pertama kali kita ketemu, gue suka sama mata lo. Mata lo cantik banget.
Trus, I love your smell. Most of all, I love your smile. I love it all until I
realize, maybe I fall for YOU. Maybe not (only) because of your eyes, your
smell, and your smile. Maybe… it’s because of YOU. The whole person.”
Aku hanya menjawabnya dengan senyum
dan anggukan malu. Sebuah gestur sederhana yang akhirnya mengukir senyum di
wajah kami berdua.
“Sekarang udah boleh gandeng kan ya?” candanya.
“Udah nggak usah dilepas lagi, kan?” balasku, tersenyum.
***
“Pulang?”
Ia terlihat berpikir sejenak sambil
melirik arlojinya. “Lima belas menit lagi ya?”
Aku mengerutkan kening. “Kenapa? Elo
nggak kemaleman?”
“Enggak kok. Ehm… supaya sampe tanggal
duanya selesai, gue masih sama lo di sini.”
Aku tersenyum. Entah sudah untuk
yang keberapa kali hari ini. Duduk di samping laki-laki yang kini kusebut pacar
ini, membuat jarum jam terasa berlari. Kenyamanan yang terus mengikuti, membuatku
merasa berat untuk berpisah. Bahkan sudah selarut ini, dan rasa kantuk seperti enggan
menyapa kami.
“Cobain kaya toast-nya ya?”
“Hah? Pesen kaya toast lagi?” aku bertanya heran.
“Cobain dulu, kalo yang di sini, roti
kaya toast-nya tipis, kalo yang tadi di
Sabang 16 kan lebih tebel.”
Aku menggeleng cepat. “Nggak ah,
kenyang.”
Dia tersenyum tipis sambil menyorongkan
sepotong kaya toast mendekati bibirku,
kemudian berkata lembut, “Mulai sekarang harus belajar makan di depan gue,
oke?”
***
It's been wonderful 4 months... Thank you, you're amazing.
Selalu ngikutin cerita cc..
ReplyDeletebagus.. (Y)
hehe
hehehe :D
Deleteterima kasih, sayaaang :*
Really sweet,I've been there Sar. you must be grateful and feeling lucky being loved by someone like him :")
ReplyDeleteI really am grateful, dear :")
Deleteterima kasih yaa sudah membaca :D