Pages

Monday 15 June 2020

WFH, Quarantine, & All in Between

It's been 3 months.

Apa kabar kewarasan?

--

Gue termasuk lega ketika pemerintah mengambil keputusan melakukan PSBB beberapa bulan yang lalu. Meski gue adalah freelancer yang bisa kerja di mana aja (dan kapan aja), Roy enggak. Gimanapun, kebijakan yang diambil oleh kantornya sedikit banyak akan bergantung kepada peraturan pemerintah. Makanya, gue pro PSBB dan WFH. Ketimbang khawatir setiap hari?

Gue dan Roy WFH dan karantina mandiri di rumah kami yang berlokasi di Kemayoran. Selain karena banyak hal yang harus kami urus di rumah ini, gue merasa perlu ambil jarak. Bukan hanya karena takut jadi carrier buat bokap, tapi juga karena anxiety gue.

See--when you live with your parent, ada beberapa ekspresi yang gue hindari untuk ungkapkan. Alasannya ya macem-macem, nggak mau bokap gue cemas, malu/males kalo akhirnya dipaksa cerita, dan seterusnya. Sementara karantina akan mewajibkan gue untuk terus menerus menekan perasaan-perasaan ini. 24 jam. Nonstop.

Pasti gue meledak at some point.

Karena itu kami pindah sementara. Kebetulan, rumah barunya juga perlu ditata. Juga khawatir tetangga sebelah yang sedang renovasi, seenak udelnya sendiri kalo rumah ini nggak berpenghuni.

Anyhoo, awal-awal WFH, coping mechanism gue dalam menghadapi segala rasa bosan adalah menyibukan diri dengan household chores. Nyikat kamar mandi, belajar masak, bersih-bersih jendela, vacuum segala sudut ruangan. Seminggu sekali juga konmari ala Marie Kondo.

Namun, seiring bergugurannya beberapa klien dan dipendingnya segala initiatives, waktu luang gue jadi bertambah, berbanding terbalik dengan penghasilan. Tentu stress berat. Dan di titik ini, pelarian gue adalah retail therapy alias belanja online.

Not really proud about it, apalagi setelah disentil oleh Big Alpha. Buru-buru berbenah, dengan cara nge-list seluruh belanjaan gue selama WFH ini, agar terpampang nyata betapa aku sebetulnya boros buat hal-hal yang nggak penting-penting amat. Betul-betul harus belajar berhemat, mengingat kondisi ke depan yang masih nggak pasti akan kaya gimana.

Gue juga memutuskan untuk kembali nulis, supaya setidaknya pikiran gue sibuk, jadi nggak overthinking melulu. Never knew I missed writing this much. Ketika rajin-rajinnya nge-blog, nulis memang terapi gue yang paling sederhana, tapi efektif. Glad it still works. Paling enggak untuk menjaga kewarasan gue di masa-masa sulit ini.

I had a few panic attack selama masa pandemi ini. Dengan ombak informasi negatif dan ketidakpastian yang sekarang berjejal di media, it's hard not to have one, don't you think? Hamdalah semuanya berhasil dilewati, meski berjuangnya setengah mati. I have Roy to thank, sih, mengingat betapa sabarnya dia nemenin gue ketika bergumul di titik-titik gelap ini. Him, and Netflix. Hehe.

Selain menelurkan panic attack (no thanks to Covid-19), karantina mandiri dan tinggal berdua sama suami juga berhasil memaksa gue untuk eksplorasi resep-resep. Dari dulu, masak bukan hobi gue, karena sama sekali nggak berbakat. Gagal melulu, yang berujung buang-buang bahan (dan duit). Nggak heran aku anak Go Food sejati.

Namun dalam menjalankan semangat irit-irit, delivery makanan tiap hari tentu bukan pilihan. Jadilah kami berdua, both Roy and me, belajar masak. Seminggu satu menu baru. Puji Tuhan belum keracunan. Ada beberapa yang gagal, tapi masih edible. I gladly take that as a win.


Belum ada yang bisa memastikan kapan situasi ini akan membaik. Jadi yang bisa gue maintain sekarang, cuma kesehatan jiwa dan raga. Istirahat cukup, berusaha menghindari stress berlebih, dan lebih gentle sama diri sendiri.

Bertahan.

Nggak perlu menang, asal cukup nggak kalah.

No comments:

Post a Comment