Pages

Friday 29 January 2021

Jepang yang Berbeda - THE M(igh)t(y). Fuji

We started the day early.

Berhubung bakalan 'mendaki' gunung, kami udah keluar apartemen sejak jam 8 pagi. Udah diwanti bolak balik sama Roy bahwa perjalanannya akan makan waktu, maka nggak boleh mandi lama-lama telat dari schedule.

Bhaiq.

Setelah sarapan kilat sambil nunggu kereta, perjalanan kami menuju Gunung Fuji dimulai.

Kachi-Kachi Ropeway

Karena jaraknya nggak terlalu jauh, Kachi-Kachi Ropeway bisa dicapai dengan jalan kaki dari stasiun. Katanya, ini tempat terbaik untuk melihat gunung Fuji. Bergeraknya memang seolah 'menjauh' dari titik tertingginya, tapi emang ngeliat objek segede gunung, kalo kedeketan kan malah nggak keliatan. Kira-kira kaya gitu logikanya.

Sebelum masuk, kami mampir sebentar ke Lawson di deket Lake Kawaguchiko. Bebelian bento, kemudian makan sambil berdiri di depan mini marketnya yang ngadep ke danau. Lunch with a view, ceritanya. Etapi anginnya kenceng btw, bentoku yang ngepul-ngepul abis dipanasin pake microwave, dibuka lima detik langsung adem. Anyep deh nasinya....... #bawel

Abis makan, kami tinggal koprol sekitar 10 meter lagi, kemudian sampe. Roy beli tiket cable car, sementara nyokap gue liat-liat bazaar buah yang nongkrong di samping loket. Trus dia beli strawberry sekotak, yang gendut-gendut dan manis. Seneng banget dapet cemilan sambil nunggu giliran nyeberang pake cable car ke bukit.


otw bukit

pelukismu agung siapa gerangan


happy to see their jaw drop moment

Pemandangannya mah udahlah jangan ditanya.

Meski sedikit berawan, tetep aja breathtaking dan berasa banget 'magis'nya. *nangis*

Dikelilingi dengan hamparan perkotaan di kakinya, rasanya kaya ngeliat lukisan yang nggak bertepi. And it gets better. Karena Jepang punya empat musim, pemandangan dari sini selalu berubah seiring dengan musimnya. Ada foto preview-nya, di deket tempat beli karcis. Sungguh mupeng, pengen liar sendiri gimana cantiknya kalo pas winter.

5th Station Mount Fuji

Seperti yang tadi gue bilang, hari ini langitnya sedikit berawan. Makanya gue rada takut 5th Station-nya ditutup. Ditambah nyokap gue cerita, pas doi ke mari, cuma boleh sampe 3rd station aja, nggak bisa lanjut karena cuacanya nggak memungkinkan.

Tapi puji Tuhan, kayaknya masih jodoh. Dengan bus, kami naik sampe ke 5th Station, di mana puncak Gunung Fuji segede ituuuuh terhampar di depan muka. Suasananya rada-rada mirip Puncak Pass (ofkors minus asongannya yha). Banyak restoran (utamanya tempat ngeteh) dan toko oleh-oleh yang super gede.



Sayang kami nggak bisa stay terlalu lama. Cuma setengah jam, abis itu udah harus naik bus terakhir menuju stasiun, untuk lanjut naik kereta terakhir ke tengah kota. Sedih deh, berasa tua di jalan, karena di destinasinya kaya cuma hong aja trus musti balik. Semoga bisa dilanjut kapan-kapan ya.

-

Yang rada nightmare adalah perjalanan balik menuju AirBnb. Berhubung kereta yang kami naiki adalah kereta terakhir yang berangkat dari Fuji, walhasil betul-betul kaya pepes di dalem. Boro-boro dapet tempat duduk, bisa berdiri dan tetep bisa nafas aja udah hamdulilah. Bener-bener kegencet sampe gepeng. Mana perjalanannya agak lama karena jaraknya jauh. Duh.

Nyokap gue, yang memang punya penyakit bawaan, langsung kambuh karena kecapean. Kedua kakinya kram hebat sesampainya kami di AirBnB. Mukanya pucet nahan sakit. Kayaknya udah mulai berasa nggak enak sejak di bus menuju ke stasiun kereta, tapi doi nggak pernah mau ngeluh karena takut yang lain jadi pada khawatir.

Gue bantuin bokap mijetin kakinya setelah dibalurin pake hot in cream. Kelar-kelar, gue jalan balik ke kamar sambil nahan nangis. Nyesel banget kenapa maksain tetep jalan ke Fuji, meski aware jaraknya sangat jauh dan udah pasti akan nguras tenaga. Gue yang sehat aja cape, apalagi nyokap gue? Gimana kalo besok beliau belum enakan? It was only our second day, and it broke my heart thinking she wouldn't be able to enjoy the rest of the trip.

I cried myself to sleep. Help her, God, please?

No comments:

Post a Comment